Sabtu, 10 November 2012

ETIKA UTILITARIALISME


ETIKA BISNIS

NAMA             : FILIN ANGGRAINI
KELAS/NPM      : 4EA13 / 10209576
MATA KULIAH   : ETIKA BISNIS
DOSEN            : RINI DWIASTUTININGSIH

Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory). Utilitarianisme sebagai teori sistematis pertama kali dipaparkan oleh Jeremy Bentham dan muridnya, John Stuart Mill.[2][4] Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan.Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan.
Teori Tujuan Perbuatan
Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah dengan memperbesar kegunaan, manfaat, dan keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan kebahagiaan daripada penderitaan, manfaat daripada kesia-siaan, keuntungan daripada kerugian, bagi sebagian besar orang. Dengan demikian, perbuatan manusia baik secara etis dan membawa dampak sebaik-baiknya bagi diri sendiri dan orang lain.
Beberapa Ajaran Pokok
  • Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa, sehingga memajukan kebahagiaan (kesenangan) terbesar dari sejumlah besar orang.
  • Tindakan secara moral dapat dibenarkan jika ia menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan, dibandingkan tindakan yang mungkin diambil dalam situasi dan kondisi yang sama.
  • Secara umum, harkat atau nilai moral tindakan dinilai menurut kebaikan dan keburukan akibatnya.
  • Ajaran bahwa prinsip kegunaan terbesar hendaknya menjadi kriteria dalam perkara etis. Kriteria itu harus diterapkan pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari keputusan-keputusan etis.
Utilitarianisme Peraturan
  • Kriteria penilaian moral mendapatkan dasar pada ketaatan terhadap perilaku moral umum.
  • Tindakan moral yang dibenarkan adalah tindakan yang didasarkan pada peraturan moral yang menghasilkan akibat-akibat yang lebih baik.
UTILITARIANISME KLASIK
·         Berasal dari tradisi pemikiran moral Inggris. Diawali dari pemikiran David Hume (1711-1776) yang kemudian dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Dimaksudkan sebagai dasar etis untuk memperbaharui hukum di Inggris khususnya hukum pidana, Bentham juga mengadopsi prinsip hedonisme karena menurutnya perbuatan dinilai baik jika dapat meningkatkan kesenangan dan sebaliknya. Prinsip utilitarianisme (the greatest happines theory) menuai banyak kritik dan kesalahpahaman, namun diluruskan oleh John Stuart Mill
·         Kelebihan : menggunakan prinsip yang jelas dan rasional serta mempertimbangkan hasil perbuatan
·         Kritik:
·         Sama seperti hedonisme, hanya saja tidak memuat egoisme etis
·         Prinsip yang digunakan tidak selamanya benar dan tidak memberi jaminan bahwa kebahagiaan dibagi secara adil
·         Tidak memberi tempat pada “hak”
·          Utilitarianisme sebagai sistem moral tidak menerapkan keadilan
Etika Utilitarianisme Dalam Bisnis
·         Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
·         Nilai Positif Etika Utilitarianisme
·         Utilitarianisme Sebagai Proses dan Standar Penilaian
·          Analisa Keuntungan dan Kerugian
·         Kelemahan Etika Utilitarianisme
Etika Utilitarianisme
·          Dikembangkan pertama kali oleh Jeremi Bentham (1748 -1832).
·         Adalah tentang bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi dan legal secara moral.
Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
·         Pertama, MANFAAT
·         Kedua, MANFAAT TERBESAR
·         Ketiga, MANFAAT TERBESAR BAGI SEBANYAK MUNGKIN ORANG
·         Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang.
Nilai Positif Etika Utilitarianisme
·         Pertama, Rasionalitas.
·         Kedua, Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral.
·         Ketiga, Universalitas.
Utilitarianisme sebagai proses dan sebagai Standar Penilaian
·         Pertama, etika utilitarianisme digunakan sbg proses untuk mengambil keputusan, kebijaksanaan atau untuk bertindak.
·         Kedua, etika utilitarianisme sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan.
Analisis Keuntungan dan Kerugian
·          Dalam Etika Utilitarianisme, manfaat dan kerugian selalu dikaitkan dg semua orang yg terkait, shg analisis keuntungan dan kerugian tidak lagi semata-mata tertuju langsung pd keuntungan bagi perusahaan.
Analisis keuntungan dan kerugian dalam kerangka Etika bisnis:
·         Pertama, keuntungan dan kerugian, cost and benefits, yg dianalisis tidak dipusatkan pd keuntungan dan kerugian perusahaan.
·         Kedua, analisis keuntungan dan kerugian tidak ditempatkan dlm kerangka uang.
·         Ketiga, analisis keuntungan dan kerugian untuk jangka panjang
Refrensi :

Minggu, 28 Oktober 2012

BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN


ETIKA BISNIS

NAMA             : FILIN ANGGRAINI
KELAS/NPM       : 4EA13 / 10209576
MATA KULIAH   : ETIKA BISNIS
DOSEN            : RINI DWIASTUTININGSIH

KONSUMEN ADALAH RAJA

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[1] Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor.

Perilaku Konsumen
Jika dilihat dari perilaku konsumen dalam mengonsumsi suatu barang dibedakan menjadi dua macam, yaitu perilaku konsumen rasional dan perilaku konsumen irasional.

Perilaku Konsumen Rasional
Suatu konsumsi dapat dikatakan rasional jika memerhatikan hal-hal berikut:
  • barang tersebut dapat memberikan kegunaan optimal bagi konsumen;
  • barang tersebut benar-benar diperlukan konsumen;
  • mutu barang terjamin;
  • harga sesuai dengan kemampuan konsumen.
Perilaku Konsumen Irasional
Suatu perilaku dalam mengonsumsi dapat dikatakan tidak rasional jika konsumen tersebut membeli barang tanpa dipikirkan kegunaannya terlebih dahulu. Contohnya, yaitu:
  • tertarik dengan promosi atau iklan baik di media cetak maupun elektronik;
  • memiliki merek yang sudah dikenal banyak konsumen;
  • ada bursa obral atau bonus-bonus dan banjir diskon;
  • prestise atau gengsi
Ada satu idiom yang menyebutkan bahwa pelanggan adalah raja.  Karena itu, siapapun orang yang menjadi pelanggan  harus dilayani dengan sebaik-baiknya, tanpa membedakan apakah  pelanggan tersebut memiliki jabatan tertentu ataupun berasal dari trah keluarga tertentu. Satu contoh, jika ada orang yang masuk ke rumah makan, maka dia adalah pelanggan yang berhak mendapatkan pelayanan yang sama baik, sama berkualitasnya, dengan pelanggan lain yang juga masuk ke rumah makan itu.
Jangan pernah membedakan pelayanan yang  anda berikan hanya karena melihat tampang atau gaya berpakaian orang yang anda layani. Apalagi, jika sampai melakukan justifikasi yang salah kaprah. Seperti sebuah peristiwa yang terjadi di salah satu rumah makan yang baru saja berdiri di Kota Malang. Dari ragam menu yang ditawarkan, rumah makan yang dekat dengan stasiun Kota Baru ini membidik pelanggan/konsumen dari kalangan menengah ke atas. Nah, beberapa waktu lalu ada seorang pejabat pemerintahan yang datang ke rumah makan tersebut dan memilih menu kepiting. Sayangnya, waiter yang mendapat pesanan tidak langsung menuliskan menu yang diminta, tapi malah mengatakan bahwa menu itu mahal (yang berarti  pelayan bersangkutan tidak percaya bahwa pelanggannya mampu membayar menu yang dipesan).
Bukan sebuah langkah bijaksana jika anda memperlakukan seseorang sebagai pelanggan kelas dua, hanya karena melihat tampangnya yang ‘kurang meng-kota’, stelan baju biasa dan tak terlihat chic, atau tongkrongan mobil yang tak terlihat mewah. Sebab, ada banyak orang kaya yang memang lebih suka berpenampilan biasa. Dan kalaupun pelanggan yang anda hadapi memang orang biasa dengan kantong yang biasa pula, anda tetap tidak dapat memperlakukannya dengan semena-mena. Karena pada dasarnya, menurut saya tak ada istilah pelanggan kelas dua. Kalaupun ada beberapa instansi yang mengelompokkan sebagian pelanggan sebagai prime customer, bukan berarti mereka menjadikan pelanggan lain sebagai kategori yang diduakan. Prime customer, mendapat beberapa tambahan layanan dan memperoleh perhatian eksklusif karena mereka membayar lebih mahal, namun demikian instansi/perusahaan tersebut biasanya juga tetap ‘merawat’  dan memperhatikan  ’para pelanggan biasa’ itu.

BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN


ETIKA BISNIS

NAMA             : FILIN ANGGRAINI
KELAS/NPM       : 4EA13 / 10209576
MATA KULIAH   : ETIKA BISNIS
DOSEN            : RINI DWIASTUTININGSIH

Gerakan Konsumen di Indonesia


Gerakan Konsumen Sebagai Gerakan Kemasyarakatan Baru

(JJ Amstrong Sembiring) Agenda gerakan konsumen secara umum adalah membangkitkan kesadaran kritis konsumen secara kontinuitas. Kesadaran kritis itu bukan saja diserahkan pada hak-hak konsumen, tetapi juga pada proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen, serta berbagai keputusan yang terkait dengan kepentingan publik dan konsumen yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka (accountable),[1]bahkan keputusan yang dibuat jelas-jelas melanggar hak konsumen, harus dilawan. Akan tetapi semangat perubahan itu tidak hanya bermuara pada itu saja, bisa juga meluas ke dalam aspek kehidupan lain baik itu dari persoalan lingkungan, persoalan hak bermukim, persoalan pendidikan, persoalan pembinaan kebudayaan, persoalan ekonomi, persoalan moral[2] menjadi urusan kita semua.

Bagaimana dengan sejarah awal mula munculnya gagasan hukum konsumen dan berdirinya gerakan-gerakan perlindungan konsumen di Indonesia? Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973 (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 15).

Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui bebagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan YLKI) dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen (Yusuf Shofie, 2002: 28).
YLKI merupakan salah satu lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) yang bisa dikatakan sebagai pelopor gerakan perlindungan konsumen pertama di Tanah Air. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk membantu konsumen agar hak-haknya bisa terlindungi. Di samping itu, tujuan YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, YLKI melakukan kegiatan (C. Tantri D. dan Sulastri, 1995: 9-15) sebagai berikut.
a.       Bidang pendidikan.
b.      Bidang penelitian.
c.       Bidang penerbitan, warta konsumen, dan perpustakaan.
d.      Bidang pengaduan.
e.       Bidang umum dan keuangan.

Sebenarnya, didirikannya YLKI adalah sebagai bentuk keprihatinan sekelompok ibu-ibu pada saat itu yang melihat perkembangan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produkproduk luar negeri. Munculnya YLKI tidak lepas dari kampanye “cinta produk dalam negeri” yang saat itu kritis terhadap barang/ jasa yang tidak aman atau tidak sehat untuk dikonsumsi. Upaya YLKI yang pertama adalah mendesak produsen susu kental manis untuk mencantumkan label “Tidak Cocok untuk Bayi” dalam kemasan susu kental manis, yang lebih banyak mengandung gula daripada susu.

Sebagai salah satu LPKSM, YLKI masih terus berkembang hingga kini dan tetap menjadi pelopor gerakan perlindungan konsumen. Pihak konsumen yang menginginkan adanya perlindungan hukum terhadap hak-haknya sebagai konsumen bisa meminta bantuan YLKI untuk melakukan upaya pendampingan dan pembelaan hukum.

Setelah itu, sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah undang-undang tentang perlindungan konsumen (UUPK) dilakukan selama bertahun-tahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget besar untuk mewujudkannya karena terbukti pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda.
Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya UUPK bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, RUUPK secara resmi disahkan sebagai UUPK. Dengan adanya UUPK, jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

Dalam Penjelasan UUPK, disebutkan bahwa keberadaan UU Perlindungan Konsumen adalah dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Dengan kata lain, UU Perlindungan Konsumen merupakan “payung” yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
Seiring perkembangan waktu, gerakan-gerakan konsumen banyak tumbuh dan berkembang di Tanah Air. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM), sebagai lembaga yang bertugas melindungi hak-hak konsumen, menjamur di mana-mana. Tentunya, perkembangan tersebut patut disambut secara positif.

Munculnya gerakan konsumen adalah untuk membangkitkan kesadaran kritis konsumen secara kontinuitas. Kesadaran kritis ini tidak hanya dimaksudkan untuk mendapatkan hak-hak konsumen, tapi juga dalam proses pengambilan keputusan yang terkait tentang kepentingan konsumen, serta berbagai keputusan yang terkait dengan kepentingan publik dan konsumen yang harus dipertanggungjawabkan secara terbuka.