Minggu, 28 Oktober 2012

BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN


ETIKA BISNIS

NAMA             : FILIN ANGGRAINI
KELAS/NPM       : 4EA13 / 10209576
MATA KULIAH   : ETIKA BISNIS
DOSEN            : RINI DWIASTUTININGSIH

KONSUMEN ADALAH RAJA

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[1] Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor.

Perilaku Konsumen
Jika dilihat dari perilaku konsumen dalam mengonsumsi suatu barang dibedakan menjadi dua macam, yaitu perilaku konsumen rasional dan perilaku konsumen irasional.

Perilaku Konsumen Rasional
Suatu konsumsi dapat dikatakan rasional jika memerhatikan hal-hal berikut:
  • barang tersebut dapat memberikan kegunaan optimal bagi konsumen;
  • barang tersebut benar-benar diperlukan konsumen;
  • mutu barang terjamin;
  • harga sesuai dengan kemampuan konsumen.
Perilaku Konsumen Irasional
Suatu perilaku dalam mengonsumsi dapat dikatakan tidak rasional jika konsumen tersebut membeli barang tanpa dipikirkan kegunaannya terlebih dahulu. Contohnya, yaitu:
  • tertarik dengan promosi atau iklan baik di media cetak maupun elektronik;
  • memiliki merek yang sudah dikenal banyak konsumen;
  • ada bursa obral atau bonus-bonus dan banjir diskon;
  • prestise atau gengsi
Ada satu idiom yang menyebutkan bahwa pelanggan adalah raja.  Karena itu, siapapun orang yang menjadi pelanggan  harus dilayani dengan sebaik-baiknya, tanpa membedakan apakah  pelanggan tersebut memiliki jabatan tertentu ataupun berasal dari trah keluarga tertentu. Satu contoh, jika ada orang yang masuk ke rumah makan, maka dia adalah pelanggan yang berhak mendapatkan pelayanan yang sama baik, sama berkualitasnya, dengan pelanggan lain yang juga masuk ke rumah makan itu.
Jangan pernah membedakan pelayanan yang  anda berikan hanya karena melihat tampang atau gaya berpakaian orang yang anda layani. Apalagi, jika sampai melakukan justifikasi yang salah kaprah. Seperti sebuah peristiwa yang terjadi di salah satu rumah makan yang baru saja berdiri di Kota Malang. Dari ragam menu yang ditawarkan, rumah makan yang dekat dengan stasiun Kota Baru ini membidik pelanggan/konsumen dari kalangan menengah ke atas. Nah, beberapa waktu lalu ada seorang pejabat pemerintahan yang datang ke rumah makan tersebut dan memilih menu kepiting. Sayangnya, waiter yang mendapat pesanan tidak langsung menuliskan menu yang diminta, tapi malah mengatakan bahwa menu itu mahal (yang berarti  pelayan bersangkutan tidak percaya bahwa pelanggannya mampu membayar menu yang dipesan).
Bukan sebuah langkah bijaksana jika anda memperlakukan seseorang sebagai pelanggan kelas dua, hanya karena melihat tampangnya yang ‘kurang meng-kota’, stelan baju biasa dan tak terlihat chic, atau tongkrongan mobil yang tak terlihat mewah. Sebab, ada banyak orang kaya yang memang lebih suka berpenampilan biasa. Dan kalaupun pelanggan yang anda hadapi memang orang biasa dengan kantong yang biasa pula, anda tetap tidak dapat memperlakukannya dengan semena-mena. Karena pada dasarnya, menurut saya tak ada istilah pelanggan kelas dua. Kalaupun ada beberapa instansi yang mengelompokkan sebagian pelanggan sebagai prime customer, bukan berarti mereka menjadikan pelanggan lain sebagai kategori yang diduakan. Prime customer, mendapat beberapa tambahan layanan dan memperoleh perhatian eksklusif karena mereka membayar lebih mahal, namun demikian instansi/perusahaan tersebut biasanya juga tetap ‘merawat’  dan memperhatikan  ’para pelanggan biasa’ itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar